Pemerintah Perlu Menuntaskan Masalah Truk Muatan Berlebih
Redaksi
Kompas
2025-01-24

Jakarta, Kompas – Persoalan truk berlebih dimensi dan kapasitas atau overdimension overload (ODOL) belum menemukan titik terang. Padahal, pelaku usaha dan pakar transportasi bersedia untuk berdiskusi dengan pemerintah mencari jalan tengah atas isu berkepanjangan ini agar dapat menekan angka kecelakaan.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto mengemukakan, pihaknya pernah berdiskusi dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabe. Namun, hasil pertemuan berakhir buntu.
Dalam penegakan aturan mengenai muatan berlebih, menurut Mahendra, struktur biaya pengeluaran pengusaha perlu dilihat. Sebagai produsen air mineral, misalnya, pihaknya dapat mengangkut 20 ton per truk. Ketika kapasitasnya dipangkas menjadi hanya 10 ton, setengah biaya akan dibebankan kepada harga produk. Biaya transportasi naik 50 persen.
“Kalau semua rata, enggak bersaing. Harga ke konsumen akhir jadi mahal. Nah, pendekatan ini harus secara supply chain (rantai pasok). Enggak hanya bicara dari sisi jalan rusak,” ujar Mahendra di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Ia mempertanyakan sejauh mana audit kapasitas jalan tol. Berkaca dari negara lain, ia buntuh penjelasan pemerintah dibalik terbatasnya kapasitas jalan tol. Padahal, truk barang berkapasitas besar dapat beroperasi hingga dalam kota.
“Artinya apa? Supply chain infrastuktur itu harus didesain untuk menunjang biaya logistik yang lebih murah,” katanya.
Sebagai pengusaha, Mahendra juga berpendapat, barang-barang penyumbang devisa negara perlu diprioritaskan, seperti semen dan minyak kelapa sawit mentah (CPO). Ketika itu dikorbankan, dapat menurunkan performa bersaing hanya karena barang sensitif pada biaya transportasi.
Salah satu penyumbang biaya logistik tinggi adalah pungutan liar. Ada pihak tertentu yang menikmati hasilnya. Hal ini mencerminkan rendahnya penegakan hukum di lapangan sehingga biaya pun dapat membengkak.
Secara terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Tory Damantoro mengemukakan, sejumlah perwakilan organisasinya pernah membahas persoalan ODOL dengan pemerintah, akhir tahun lalu. Namun, kesepakatan itu tidak berjalan efektif.
“Sebelum pergantian Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, (kami) sepakat bahwa pihak yang harus bertanggung jawab Ketika kecelakaan ODOL adalah pemilik barang. Jadi, pihak yang tanggung renteng tidak hanya pengemudi, tetapi juga pemilik kendaraan dan barang,” ujar Tory.
Pemilik barang harus ikut bertanggung jawab karena ia cenderung memaksakan pengemudi truk membawa muatan lebih banyak dari semestinya. Tindakan menyalahi aturan ini harus dipertanggungjawabkan.
Tory mengemukakan, pemerintah masih menggunakan pendekatan sectoral dalam menangani isu rantai pasok. Tanpa sistem rantai pasok yang tepat, efektifitas dan efisiensi biaya dari satu titik ke titik lain tidak akan diketahui.
“Moda darat harusnya hanya efektif di bawah (jarak tempuh) 400 kilometer. Lebih dari itu, truk harus ODOL agar dapat untung,” kata Tory.
Andil pemerintah
Pakar kebijakan public Agus Pambagio mendorong agar pemerintah salinb berkoordinasi. Kemenhub dapat mengatur melalui pengawasan dari sisi perhubungan. Khususnya keselamatan. Kementerian ini tidak dapat bergerak sendiri karena peraturan yang dikeluarkan sepihak akan ditolak pihak lain, seperti Kementerian Perindustrian, dan kepolisian.
“Mumpug ada Menteri Koordinator Bidang Infrastuktur dan Pembangunan, dia harus panggil semua kementerian terkait dengan logistik,” ujarnya.
Bentuk koordinasi harus menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui semua pihak. Pemerintah perlu memikirkan agar industri tidak mati, perdagangan tetap berjalan, keselamatan tidak ditinggalkan.
“Kan, bis aitu. Keluarkan keputusan bersama untuk diikuti. Kalau tidak ditertibkan. Truk-truk itu harus berpelat kuning. Jangan mentang-mentang truk milik pejabat tertentu lantas dibiarkan, tidak bisa ditertibkan,” ujar Agus (AVE)